Selasa, 29 Maret 2011

cerpen "Kado ulang tahun dari Ayah"

Kado ulang tahun dari Ayah
Seumur hidup aku tidak pernah berbicara dengan ayah, bergurau bersama atau menerima kasih sayang dan timangannya. selama ini hanya ada aku dan ibu di rumah ini, ibu yang membesarkan dan mendidiku tanpa sentuhan sedikitpun dari seorang suami yang selalu didambakan. Namun kali ini ayah akan memberikanku sebuah kado di hari ini. Hari yang merupakan hari kelahiranku di atas dunia. Kata ibu, kado itu diberikan ayah sebelum aku dilahirkan di dunia. Selama ini ibu menyimpannya dan merahasiakan bahwa aku telah diberi kado oleh ayah. Ibu pernah cerita bahwa kado yang diberi ayah itu sengaja ia simpan tanpa sepengetahuanku sebab itu merupakan pesan yang di sampaikan ayah kepada ibu ketika ibu menerima kado itu. Kado itu akan diberikan ibu kepadaku tepat diusiaku yang ke dua puluh tahun. Sekarang hari itu telah tiba, kini usiaku pun telah mencapai dua puluh tahun. Hari ini adalah hari ulang tahun ku.
Sebagai anak satu satunya hasil dari perkawinan antara ayah dan ibu. Aku menjadi anak yang kurang bisa diharapkan oleh orang tua, kerap kali perbuatanku menjadi perbincangan serius oleh kaum ibu-ibu di warung kelontong. Selama ini keinginan ku selalu dipenuhi hingga aku pun selalu melakukan hal yang terasa nikmat dalam hidup bahkan terjerumus di dunia hitam pun aku lakukan untuk memenuhi hasrat birahi yang diwariskan oleh ayah. Temanku seorang dokter psikologi pernah berkata bahwa apa yang aku lakukan merupakan hasil dari ketidak perhatiannya orang tua kepada anaknya seperti aku dan ini merupakan tingkah laku anak yang tidak pernah mendapat didikan secara maksimal dari kedua orang tua. Ditambah lagi dengan lingkungan di sekitar rumah. Maklum lingkungan pasar yang selalu ku hadapi. Itu perlu aku akui sebab selain ayah yang tak pernah mendidikku secara lansung dan ibu yang mendidikku hanya sedikit dari kehidupanku dikarenakan kesibukannya di pasar.
Sejak ayah meninggal dunia, nasib keluarga ku semakin berantakan, tak ada lagi yang bisa memenuhi kehiduan seharihari dari keluarga. Ayah meninggal dunia sebelum aku dilahirkan di dunia ini. Ibu pernah cerita tentang ayah. Ia seorang lelaki yang penuh dedikasi dan tanggung jawab terhadap keluarga meski ia kerap meninggalkan ibu dalam waktu cukup lama sebab tugas pelayaran yang dilakoninya. Cukup mengharukan ketika ia menceritakanya kepadaku. Tapi sayang, aku tak pernah berjumpa lansung dan bertatap mata dengan ayah. Tapi biarlah, mungkin dengan kado pemberiannya bisa mengurangi rasa kerinduan dan aku merasa telah menerima kasih sayang dari nya.
Usai berjualan di pasar  ibu tampak murung, di raut wajahnya terlihat rasa kebingungan yang luar biasa  namun aku tak begitu memperdulikan kenapa ibu sekarang. Ibu yang tampak tak bersemi di wajahnya itu selalu menatap dan memperhatikan setiap tingkah laku ku. Ah…mungkin itu perasaanku saja. Ibu kan selalu berbuat begitu kepadaku, biasanya setiap kali ibu berwajah murung itu pertanda bahwa dagangan ibu hari ini kurang laris begitu juga sebaliknya. Setiap pagi, ibu pergi menjual dagangannya di pinggir jalan  yang berada persis di pintu gerbang menuju pasar tradisional. Ia tak sanggup untuk menyewa sebuah kios di dalam blok pasar rakyat itu, katanya terlalu mahal untuknya dan tidak sesuai pendapatan dengan pemasukan. Ibu bukanlah pedagang kain yang besar, dagangannya hanya cukup untuk memenuhi kehidupan kami selama ini.
Namun tidak kali ini, dagangan ibu habis terjual, ia pulang ke rumah agak sedikit cepat dari pada biasanya, akan tetapi mengapa ibu murung. Padahal hari ini adalah hari ulang tahunku. Seharusnya ia lebih sedikit bahagia dari hari biasanya. “bu, hari ini kan hari ulang tahunku, aku heran dengan ibu, kenapa ibu tampak sedih begitu? Ibu kenapa?”. Hanya senyuman yang terlintas di bibirnya ketika pertanyaan itu terlontarkan. Ia bergegas masuk kedalam kamar tidurnya yang hanya berukuran dua kali tiga meter itu dan segera keluar dengan membawa sebuah paket berbentuk kotak kecil yang dibungkus dengan kertas padi berwarna kuning dan meletakan ke atas meja makan yang berada tepat di samping kursi yang kududuki dan lalu duduk di kursi sebelah ku. Mataku tertuju pada bingkisan tersebut, mungkin ini kado yang dimaksud oleh ibu. Kado yang diberikan ayah untuk ku semasa aku masih dikandungan itu. Kado yang menjadi rahasiaku selama ini, kado yang membuatku penasaran apa isi di dalamnya. “itu kado dari ayahmu, hari ini engkau berhak untuk membuka kado itu, buka lah…!!” perintah ibu kepada ku. Hatiku gembira tidak tertahan menerima kado pemberian ayah tersebut. Namun mengapa ibu diam. Tak tampak sedikitpun keceriaan di wajah mungilnya. akupun terdiam dan membisu dengan senyap tanganku menggapai kado dambaan hati dan jemariku mulai menyobek satu persatu kertas bungkusan kotak kecil yang diperkirakan hanya sebesar kotak sepatu. Kotak itu masih utuh dan belum pernah dibuka sebelumnya. Sedikit demi sedikit sampul kotak itu mulai habis. Rasa berdebar dan gembira menyemat di pikiran. Maklum, baru kali ini aku mendapat kado special di hari ulang tahunku. Kegembiraanku semakin memuncak saat aku mulai membuka tutup kotak yang terbuat dari kardus bekas itu. Tak ada yang berharga di dalam bingkisan kado, hanya ada sebuah photo seorang lelaki yang berdampingan dengan seorang perempuan yang cantik jelita dan terlihat lebih muda dari pada pria separuh baya itu. Tersentak mata ini terpana kea rah photo dan memandang wajah wanita berkulit putih yang memberikan senyuman dingin kepadaku sambil memeluk tubuh ayahku tersebut. Di bawah photo itu ada pula sepucuk surat kecil seperti pesan pendek dari ayah.
Ibu beranjak dari kursi mengambil segelas air mineral dan kembali duduk di kursinya kemudian ia mulai menceritakan apa yang terjadi sebenarnya secara bertahap kepadaku . Aku mendengar perkataan ibu sambil memengambil photo dan surat itu keluar dari kotak dan berhenti sejenak terkejut mendengar ibu berkata “aku adalah ibu tirimu” gumam ibu dengan nada kecil sambil meneguk segelas air mineral, “apa maksud ibu”, “ ya….aku adalah ibu tirimu yang dinikahi ayahmu ketika kapalnya bersandar di kotaku”. Aku melepaskan photo dan surat itu dari genggaman, menatap ibu dan terdiam, sementara ibu masih menggenggam gelas kaca dan melanjutkan kembali ceritanya.  “ayahmu  meninggal dunia karena serangan jantung yang di deritanya. Ibumu datang ke kotaku setelah setahun ayahmu meninggal dunia, kemudian ia menitipkan sebungkus kado kepadaku. Ia juga memberikan seorang anak kepadaku untuk diasuh dan tak lupa ia menyampaikan pesan ayahmu tentang kado itu. Anak itu adalah kamu. Sampai saat ini ibumu tak pernah kembali lagi” cerita ibu kepadaku sambil sedu sedan menahan tangisan. Semula aku tak percaya dengan cerita itu, namun ibu membuktikan semua ceritanya dengan menunjukan photo ayahku yang lainnya sehingga aku mulai percaya dengan apa yang diceritakannya.  serasa nadi berhenti dan badan menggigil mendengar pernyataan wanita separuh baya yang duduk di sebelahku. Tak terbayangkan nasibku hingga seperti ini. Di hari ulang tahunku yang ke dua puluh tahun ini aku diberi hadiah yang tak bisa ku lupakan sampai akhir hayatku.
Ia diam  menghampiri dan memelukku dengan erat seraya mengeluarkan tangisan kecil sedu sedan. Kegembiraanku telah takluk oleh tangisan ibu. Heran dan bingung dengan kondisi yang terjadi namun aku tetap kembali mengambil dan membaca surat kecil dari ayah itu. Anakku..!! ini photo satu satunya yang kupunya dan ku berikan photo ini untuk mu, ini photo aku dan ibu mu ketika kami baru seminggu menikah. Itu tulisan yang ku baca dari surat kecil yang ada di dalam kotak kado kecil. Pikiran ku berhenti sejenak ketika usai membacanya. Aku heran dan bertambah bingung ketika melihat wajah ibuku tidak serupa dengan wajah yang ada di dalam photo itu. Semakin bingung semakin itu pula ibu menangis terharu dan memelukku. Namun keherananku terhadap tidak serupanya wajah ibuku dengan photo itu telah reda setelah ibu menceritakan yang sebenarnya. Namun aku mulai mengeluarkan air mata berlahan lahan, air mata it uterus mengalir tanpa henti membelah pipiku.
Aku memperhatikan wajah wanita yang ada di photo itu secara cermat. Makin ku lihat wajah itu makin ku tangis diriku. Tangisanku semakin pecah setelah melihat dengan sempurna wanita yang ada di dalam photo itu. “Ya..aku mengenali perempuan ini dan aku tau di mana ia sekarang” aku menyata sambil menunjukkan lembar photo itu kepada ibu. “kamu kenal dia”, “kenal bu, bahkan sangat kenal”, tampak raut heran di wajah ibuku, mungkin sedikit terkejut dengan pernyataanku tadi. “wanita ini……wanita ini adalah pelacur yang pernah ku tiduri bu” akuku kepada ibu. Tak terbendung air mata ibu mengalir di pipinya sambil memelukku dengan erat. Hm…..Tangisanku semakin menjadi jadi bukan karena aku ditinggal pergi oleh pasangan yang berdampingan senyum di dalam photo itu, akan tetapi karena aku telah meniduri wanita yang dipelukan ayahku itu. Wanita yang ku kenal sebagai pelacur. Wanita itu yang kukenal di sebuah diskotik tempat ku biasa melampiaskan hawa nafsu. Wanita itu adalah wanita yang ku bayar seharga tiga ratus lima puluh ribu rupiah untuk setiap kali ia menemaniku dalam waktu semalam dan wanitu itu juga yang selalu melakukan hubungan intim  bersamaku dan mengaku bernama Marisa.

dumai, 2011
oleh : Syahrul Affandi bin Jalaluddin Rozali

1 komentar:

Silakan beri Saran dan Komentar