CERPEN

Pulang Bekerja
Sudah tiga hari pak Karto tidak pulang ke rumahnya, dengar informasi dari tetangga sebelah rumah pak karto ia pergi ke pekan baru dalam rangka melaksanakan tugas yang diembannya dari kantor. Pak karto bukanlah pegawai tinggi di pemerintahan, dengan golongan pangkat yang rendah ia hanya sebagai supir pribadi dari kepala dinas  tempat ia bekerja, maklum dengan memegang jabatan sebagai supir pribadi mobil plat merah ia selalu pergi ke luar kota bersama kepala dinas, biasanya setiap ia pergi paling tidak dua sampai tiga hari ia tak pulang ke rumah nya bahkan ia pernah sampai seminggu ia pergi meninggalkan istri dan anaknya hanya untuk menemankan kepala dinas rapat di pekan baru.
Hari itu pak karto baru pulang ke rumahnya setelah tiga hari menemani bosnya. Ia menyadari kalau semua akan baik baik saja seperti biasanya. Keramatamahan seorang istri menyambut kepulangan sang suami selalu ia dambakan. Biasanya, setiap kali pak karto pulang ke rumah nya, ia selalu disambut mesra oleh istrinya, dihidangkan segelas teh hangat, disajikan cimilan kecil serta kecupan mesra yang dilakukan istrinya setiap kali kepulangannya dari tugas. Terlihat anggun dan terpesona betapa mereka menjaga kesetiaaan rumah tangga. Anaknya Medi yang baru berumur  tujuh tahun selalu memeluk pak karto ketika ia baru melangkah masuk ke rumah nya, begitu juga dengan Nani anak perempuan tunggalnya yang masih duduk dibangku SLTP selalu gembira menyambut kedatangan ayahnya.
Tetapi tidak dengan malam itu. Tiga hari pak karto pergi meninggalkan rumah, anak-anak dan istrinya menyimpan perasaan rindu yang mendalam di hatinya. Ingin rasanya secepat mungkin hendak sampai ke rumah meski jalan masih jauh lagi untuk sampai ke rumah. Hujan yang mengiringi kepulangan pak karto setia menemani nya hingga ia sampai kerumah, kerinduan itu semakin mendalam karena Medi menunggu mainan plastic yang ia pesan kepada pak karto ketika pulang sampai ke rumah.
Terlihat di arloji yang dikenakan di tangan sebelah kanannya menunjukan pukul sebelas malam, Susana di sekitar rumahnya terlihat sepi sebab dari tadi pagi lingkungan rumahnya diguyur hujan. Suasana sunyi sepi seperti itu selalu ia rasakan meski cuaca cerah menderah maklum lingkungan rumah pak karto tergolong masyarakat yang cuek dan tidak ambil tahu tentang tetangga layaknya lingkungan komplek  yang berdiam disana kebanyakan orang awam. Hujan belum juga berhenti, rasa curiga kepada sang istri tidak terpikirkan dibenaknya, perasaan pun biasa saja ia turun dari mobil dinas dan berkemas barang – barang bawaan dan tak lupa akan mainan plastic yang dipesan oleh anaknya. Mulai ia melangkah ke pintu rumahnya, mengucapkan salam dan mengetuk pintu dengan berlahan sambil memanggil nama istrinya dengan lembut.
“na…!!, “na…!!, “buka pintu, ni abang pulang “ hampir lima belas menit berdiri di depan pintu namun Mirna istrinya tidak juga membukakan pintu rumahnya, sementara hujan tetap mengguyur atap rumah semakin deras, udara yang semakin sejuk terasa menusuk di dalam tulang pak karto, namun ia masih sabar meninggu mirna istrinya membuka pintu. Ia terus mengulangi mengetuk pintu beberapa kali namun Mirna juga tidak membukakan pintu rumah, “barangkali mirna sudah tidur” gumamnya sambil menunggu dengan sabar. Kesabaran pak karto memang diakui bahkan ia dikenal orang yang paling sabar di kampung itu. Ia mengambil ponsel dari saku celana dan mencoba menghubungi nomor mirna beberapa kali namun tidak juga diangkat oleh mirna. Kecurigaan mulai timbul dibenaknya, rasa penasaran semakin menggebu dan mulai memikirkan apa sebenarnya yang terjadi di dalam rumah ini. Berlahan menarik nafas waktupun semakin larut dan ia mencoba memanggil Mirna dari kaca jendela kamarnya yang ia duga mirna pasti tidur di sana, namun juga tiada jawaban dari rumah yang hanya berukuran delapan kali enam belas meter itu, melangkah kea rah belakang rumah dan ia temui pintu belakang rumah ternyata tidak terkunci dengan rapat, dengan mengendap endap ia masuk ke dalalm rumah. Selari berjalan menuju ke ruang tengah sambil menghidupkan lampu rumah satu persatu. Medi anak lelakinya tampak tidur dengan nyenyaknya di depan televisi sambil memeluk bantal seakan sedang bermimpi indah, di sebelahnya tergeletak Nina yang juga asyik tidur dengan pulas tapi ia tidak melihat Mirna tidur bersama anaknya, “kemana mirna ?” pikirnya sambil menyelimuti kedua anaknya yang tidak sadar dengan kedatangan ayahnya.
Malam itu, suasana semakin senyap, yang terdengar hanyalah suara air yang satu persatu menghantam atap rumah, sesekali terdengar suara kenderaan yang lewat di jalanan. Pak  karto hanya diam dan sesekali memanggil nama istrinya. Mendekati pintu kamar ia mendengar suara bisikan dari dalam kamarnya, suara mirna seperti berbicara dengan seseorang. Kecurigaan semakin medalam ketika ia mendengar suara lelaki dari sebalik pintu kamar itu. Terus bersabar dan bersabar memikirkan ada apa dan siapa lelaki yang berada di dalam kamar bersama Mirna istrinya. Diam dan membisu ia duduk di sofa tak begitu jauh dari pintu kamar itu, hanya berjarak beberapa langkah saja, tatapan mata yang kosong tertujuu pada daun pintu yang menyimpan misteri. Haru bercampur sedih serta berkecamuk pikiran di dalam hati hingga ia tidak lagi memikirkan barang bawaan yang belum sempat ia ambil di depan pintu rumahnya.
Semula ia tidak percaya saat beberapa bulan yang lalu terdengar gossip dari tetangga yang mengatakan kalau Mirna istrinya selalu membawa laki laki lain ke dalam rumahnya saat ia pergi bertugas dan kini ia menyadari bahwa apa yang dikatakan tetangga itu ternyata benar. Dugaannya tidak meleset, dari sebalik pintu kamar suara bisikan cemas terdengar di telinga, pembicaraan antara mirna dengan lelaki itu makin memanaskan hati pak karto, namun ia masih duduk diam di sofa sambil mengurut dada. Tak terasa air mata keluar dari selah pipinya.
“Mirna, keluarlah..!!aku tau apa yang telah terjadi di dalam kamarmu itu, dan aku tau dengan siapa kau berbicara, aku tidak akan memukulimu karena aku sayang padamu, mirna….!!keluarlah, bawa lelaki itu keluar dan suruhlah ia pergi dari rumah ini, dan kita akan selesaikan masalah rumah tangga kita ini dengan tenang” ungkap pak karto kepada istrinya sambil menangis dengan sendu. Pintu kamar belum juga terbuka, gemeter di dada makin bergelora, perasaan semakin gundah gulana, dalam semu ia terpaku.
Beberapa menit ia menunggu, matanya tertuju pada kedua anaknya yang lagi tidur pulas, seraya ia berkata “anakku, kenapa engkau tidak menceritakan ini kepada ayahmu, kenapa kalian hanya diam ketika ibumu dipelukan orang yang itu bukan aku ?, kenapa kalian tidak bertanya kepada lelaki itu siapa dia?, kenapa ?kenapa anak ku…??. Mendengar ratapan pak karto kepada anaknya mirna pun membuka pintu kamar itu, ia melihat wajah suaminya kusut kusam berlinangkan air mata sambil memeluk kedua anaknya. Tetesan air mata mirna pun tidak terbendungkan, seraya ia menyuruh lelaki itu keluar dari kamarnya, ia pun menangis sekeras mungkin, berjalan tertatih tatih mendekati suaminya dan memeluk pak karto dengan erat. “maafkan mirna ya bang”.
Lelaki itu berkemas memakai pakaiannya dan beranjak untuk keluar dari rumah itu, namun hatinya terasa risau, takut akan pak karto melaporkannya ke kantor polisi ia pun melangkah menuju dapur dan mengambil sebilah pisau berniat hendak membunuh pak karto. Dari baliik dinding dapur ia mendengar pembicaraan pak karto kepada mirna “mirna, kenapa ini kau lakukan kepadaku? jika memang kau sudah tidak sayang lagi padaku, katakanlah bahwa kau ingin dicerai, dan aku akan menceraikanmu, kau layanilah lelaki itu selayak engkau melayani aku”. Suasana malam itu masih mencekam, kekhwatiran lelaki itu akan laporan pak karto kepada  polisi semakin hebat, tanpa pikir panjang ia lansung menuju kearah pak karto sambil membawa sebilah pisau dan menusuk pak karto dengan pisau di tangan kanannya, malang tidak bertuah, pak karto mengelak dari serangan itu dan mengambil pisau dari tangan lelaki itu, tanpa pikir panjang pak karto pun menusukkan pisau ke tubuh lelaki separuh baya itu tepat di dadanya. Tanpa sengaja dan kebingungan Mirna menjerit histeris hingga membangunkan tetangga sebelah, sementara pak karto terpukau melihat darah bergelimang di lantai rumahnya, kedua anaknya terbangun dari tidur, terkejut dan menangis melihat situasii yang sedang terjadi, berlari menuju ke arah mirna dan memeluknya dengan erat. Lelaki separuh baya itu tergeletak di lantai dengan bergelimang darah. Pak karto menyesali dengan apa yang terjadi.
Sementara, di luar rumah masyarakat mulai berdatangan, merasa heran dengan situasi yang terjadi, pak Ahmad selaku RT di kampung itu lansung menorobos pintu rumah pak karto, terkejut melihat  lelaki separuh baya itu terbaring di lantai dan sudah tidak bernyawa. Salah seorang dari masyarakat itu melaporkan ke Polisi tentang apa yang terjadi.
Beberapa saat kemudian, polisi pun datang, mengintrogasi dan menangkap pak karto atas tuduhan sebagai tersangka praktek pembunuhan itu. Mayat lelaki itu dibawa ke rumah sakit untuk di outopsi. Rumah pak karto yang biasanya sejahtera kini berpagar garis polisi. Mirna dan kedua anaknya hanya bisa menangis melihat tangan pak karto diborgol dan digiring ke kantor polisi. Satu persatu masyarakat pulang ke rumah mereka masing masing sambil bergumam menceritakan kejadian ini.

***

Pagi hari tampak lengang, sebagian orang orang melirik matanya ke arah rumah pak karto sambil berangkat kerja, wartawan mulai berdatangan ke lokasi kejadian hendak meliput pristiwa yang telah terjadi, Mirna dan kedua anaknya masih mendiam diri di dalam rumah, ibu ibu pun tak kalah peran menggosip di setiap warung manceritakan rumah tangga pak karto.
Sekitar jam satu siang seusai solat zhuhur Mirna dan kedua anaknya pergi menjenguk suaminya yang mendekam di jeruji besi. Sesampai disana ia pun memohon maaf kepada pak karto, isak tangis pun tak terbendungkan,”aku maafkan semua kesalahanmu mirna, dan aku tidak menyimpan dendam sedikitpun kepadamu, mungkin ini sudah jadi jalan hidupku yang selalu dihianati oleh orang yang selama ini aku sanjung, sudah lah mirna, hapus air matamu dan bawalah anak anak kita ini pulang ke rumah, jagalah mereka, didiklah mereka dengan agama, aku yakin engkau akan bisa lakukan itu, polisi menjeratku dengan undang undang KUHP tentang pembunuhan dan akan memvonis lima belas tahun penjara kepadaku, dan mulai saat ini engkau mirna istriku ku cerai, ku izinkan engkau mencari pengganti aku untuk menjagamu dan kedua anak ku ini”, air mata mirna dan pak karto semakin mangalir di pipi mereka, tak luput juga dengan kedua anak mereka yang meratapi ayahnya dari sebalik jeruji sambil menangis sedu sedan. “sudahlah mirna, pulanglah engkau ke rumah” sebut pak karto sambil meninggalkan mirna dan kedua anaknya. Mirna menangis tersedu sedan melangkah perlahan meninggalkan ruang penjara yang begitu kumuh.

Dumai, 21 september 2010
Syahrul Affandi bin Jalaluddin Rozali