Rabu, 31 Oktober 2012

sebuah retorika


walau muka ini malu untuk meminta
namun segala raga telah memendam
cerita itu telah ku sampaikan pada sepasang kekasih pengantin
ketika ia telah duduk di bangku singgasana
apa yang telah di harapkan
semangkuk nasi tertumpah di diamnya janji..

ku tulis sajak sebagai pengganti harapan
dalam bening mega mega impian yang terlukiskan pada secawan retorika
entahlah....
terkadang apatis dengan keadaan...
terkadang benci dengan waktu menunggu...
menunggu hal yang tak pasti kapan terucapkan...
hanya retorika....

dan sudahlah....
bisikan nafsu menyapa...
tidak.....
bisikan asa menyertai....


dumai, 8 mei 2011
syahrul affandi bin jalaluddin rozali

kekalahan


setelah bersadar dari kemimpian.yang ku ingat adalah pesan dari mak ku
pesan yang harus terjalankan hingga menjadi kewajiban
inilah tempat aku berpikir dari kemunafikan dan ketindasan..
dan dari sini ku lemaskan seluruh jemari untuk menari dengan lentik dan riang, melayani kebudakan nafsu diantara dua alam.
mulai berpikir dari sebelum nya terbangun, roda mengubahkannya jadi kenyataan hakiki..melirik singgahsana para lanun berbaris tepat dan siap untuk merompak...kecil pandangannya memandang tubuh halus mungil ini..
kemudian...otak kiri mulai menghidupkan mesinnya layaknya diesel mulai memanas. minyak pelumas mulai meresap kesetiap sudut mesin, pikiran makin gundah gulana sebab pelumas yang menyerap itu dari saitan adanya.

dari pada itu, mata mulai merasa kaku, dan hati membeku....


dumai, 29 Juni 2011
syahrul affandi bin jalaluddin rozali

sajak kum


tidak lah aku menidurkan diri karena ghusau
yang ghisau dalam sejuk mengigau
dari segala ketakutan merajut sepi membelakangi realita hidup sebenar hidup
sungguh kenestapaan itu telah berada tak jauh dari nyawa sang batin
antara nafas dan keranda....
sudahlah....
tak usah nak mengendeng tudung saji orang tetangga yang laoknya hanya sepinggan
berharap dedak tumpah sesendok kepada sang raja
ini sesak semakin menggila sebenar ada kaki berpijak
tinggalkan ajouk itu bersama hayalan merebah badan di lantainya asa
senang menari nari bercekrama kepada dayang hingga tersedari

syahrul affandi bin jalaluddin rozali
dumai, 16 februari 2012

rasa dari sebuah kata


gelam gulali berguling
aku tersentak di angkuhnya negeri..
yang getar gelegar bagai kata penakluk kalimat

sedangku elu sebuah tangis
dimana engkau telah merayu di depan singgasana
sejak itu sajak telah terkuak dari hati ke tulisan
sajak menjejak tegak
puisi dengan saksi
kata dengan senjata
menyerang hati meluluh lantakkan kegeraman

gelam gemulai hanyut ditari
aku tenggelam terbuai oleh diri
saakan tak mampu berpijak di bumi
searah mata menangkup ke hati

gaung lah engkau hei anak watan..
ambil tintamu tumpahkan lah di atas kertas
coret sampai ia basah makna
siat hingga kertas terluka oleh erti
terasalah diri terpuas oleh senyumnya tulisan

dumai, 15 mei 2011
syahrul affandi bin jalaluddin rozali

BA....

dan tiadalah aku yang sanggup berdiri di tengahnya hari
tepat persis di tengahnya sebuah padang
aku menari tanpa riang

tak seberpa jauh dari sini
engkau cukup tersipu sendu
terus menatap dan terasa bingung memandang gerak tari yang ku lenggangkan

hari itu...
sebentar lagi kapalnya akan tenggelam
menyelam di tingginy awan
terus dapat membutakan nafasku
rapuh, lapuk dan usang
aku membiru, gelap, hitam dan basi

sementara engkau masih memperhatikan gerak lembut tariku

apa...
apakah kau telah memandang dosa-dosa yang berjemur di dalam roh ku?
atau kau juga dapat melihat dosa-dosa dari sebagian kaummu?
mungkin engkau menyadari betapa ramainya iringan pasukan dosa berbaris berjalan dari akal lalu ke hatimu

ternestapa sikap yang mengeksploitasi organ tubuh

hari itu...
engkau masih bernyanyi
berdendang atas lagu-lagu tidur malamku
melepas letih terus masuk kedalam buai tidur dan didodikan oleh emakmu

dan aku masih menari..

dumai, 30 oktober 2012
syahrul affandi bin jalaluddin rozali

Jumat, 24 Agustus 2012

CARA PENYAIR MENYISIPKAN RUH DALAM KARYA



Sebuah Ulasan Puisi


Kali ini, kita akan membahas tentang puisi berjudul dunia oh dunia buah pena Syahrul affandi bin jalaluddin rozali. Berikut ini saya kutip lengkap puisinya, selamat menikmati!


puisi "dunia oh dunia"


Ini dunia yang kau miliki

Sebentuk bulat tak lonjong, tak petak
Ini dunia yang kau pijak
Bertanah dan berair

Diselimuti pepohonan tapi kau tebang

Dipenuhi lautan tapi kau cemar
Diselubung udara tapi kau kotorkan
Dihiasi manusia tapi kau tipu

Ini dunia yang kau puja

Berbentuk bola yang kau tendang
Tak ada benderang di hati luka
Seakan hempas terkoyak pungkang
Hingga tak kau perdulikan wajah-wajah mayat jelata

Ini dunia yang kau seru

Mengisah kan beban di pundak nya
Menuduhkan kau yang bersalah
Menangis kan hujanan air mata

Ini dunia yang kau agungkan

Aku juga ikut menghancurkan nya
Meski kaki tak sanggup lagi berpijak

Dumai, 16 april 2010

Syahrul affandi bin jalaluddin rozali

Puisi yang ditulis penyair Syahrul affandi bin jalaluddin rozali ini lebih menitik beratkan pada sisi makna atau sisi pesan. Penggunaan metafora pada tiap baitnya, nyaris tidak ada. Hal semacam ini sangat wajar karena memang penyair yang memiliki gaya seperti ini, tak terlalu menonjolkan keindahan bahasa.


Marilah kita bahas dari bait perbait yang ada dalam puisi ini, agar kita lebih akrab dengan kehadiran puisi ini.

Pada bait pertama, yang hanya terdiri dari empat baris lebih bersifat perkenalan. Dunia diperkenalkan dengan bahasa yang lugas,bertanah dan berair. Perkenalan di sampaikan lugas dengan tujuan agar pembaca lebih memahami maksud dan tujuan puisi ini ditulis.
Pada bait kedua, yang hanya terdiri dari empat baris, lebih pada teguran semata. Lebih menekankan gugatan kepada kamu lirik, yang dianggap kurang bersahabat dengan alam. Manusia yang dinilai terlalu tamak. Tanda tamaknya manusia ditulis dan dicontohkan dengan gamblang yakni mudah menebang pohon sembarangan. Lebih sering, melakukan pencemaran di lautan demi memenuhi kepuasan duniawi. Lebih suka, membuat polusi sehingga pernafasan pun terganggu. Penyair pun menegaskan bahwa watak dasarnya adalah suka menipu.
Dengan demikian bait kedua ini sarat dengan renungan yang bersifat nyata dan sangat akrab dengan kehidupan kita.
Pada bait ketiga, penyair lebih tegas melukiskan manusia yang tamak pada dunia. Penyair menggugat manusia yang tamak dengan begitu lugasnya. Gugatan itu terasa sangat tegas. Gugatan itu bisa langsung dirasakan karena memang tidak dihiasi dengan metafor. Dunia yang umumnya dipuja manusia menurut penulis tak lebih dari sekedar bola yang bisa ditendang akibatnya, tak ada kepedulian kepada rakyat jelata khususnya yang telah meninggal.
Pada bait keempat, penyair hanya berbagi kisah spritual dengan kamu lirik (penyeru dunia) dengan menyatakan Ini dunia yang kau seru/Mengisah kan beban di pundak nya/Menuduhkan kau yang bersalah/Menangis kan hujanan air mata. Dengan demikian menyeru dunia hanya akan menambah beban saja. Beban bagi dirinya maupun beban bagi dunia yang diserunya.
Pada bait kelima dengan tegas penyair menyatkan sikapnya kepada kamu lirik (pemuja dunia), Ini dunia yang kau agungkan/Aku juga ikut menghancurkan nya/Meski kaki tak sanggup lagi berpijak. Sebuah sikap tegas telah disampaikan penyairnya. Saya pikir ini adalah sikap yang sangat berani, sengaja ditempuh penyair untuk menyadarkan kamu lirik dari kebiasaan memuja dunia. Bahwa penyair ikut menghancurkan dunia yang sering dipuja kamu lirik meski terkadang penyair tak mampu lagi beranjak. Dengan demikian puisi ini, bisa dibilang berhasil dalam penyampaian pesan saja kendati keindahan bahasa metaforisnya kurang mendapatkan tempat. Inilah salah satu genre yang coba diusung oleh penyairnya, mendobrak kebiasaan penyair lain yang terlalu mengagungkan metafor dalam karya-karya meraka. Bagi saya pribadi hal semacam ini adalah sah-sah saja karena setiap penyair meliki ruh tersendiri pada tiap karya-karya yang telah ditulis.

http://sanggarsastraalief31.blogspot.com

17 April 2010

Jadda

Asa mengikatkan suasana
Dirasa aku mampu berbalik tapak

Jadda...
Telah meniduri mimpi terwujud akan
Akui sendu telah bertopang bahu sungguh
Dimana kaki pun menggelitik tumit

Kusang wajah menunggu jadda tak kunjung datang
dan tenggelam melampaui batas sudah

Jadda...
dari sisi gelap kehidupan
sajakku tak berbentuk angin
tak berbentuk debu
dan tak berbentuk daun


Dumai, 24 Agustus 2012
Syahrul Affandi bin Jalaluddin Rozali