Selasa, 29 Maret 2011

cerpen "sekolah"

Sekolah

Setelah aku dikeluarkan dari sekolah akibat kasus yang begitu memalukan keluarga, aku tak pernah bermimpi lagi untuk mencapai kesuksesaan. Hidupku menjadi semakin tak terurus, orang tua ku seperti tak mau ambil pusing dengan apa yang aku lakukan sehari hari. Aku mengerti dengan tingkahnya seperti itu kepadaku. Maklum, dengan keadaan ekonomi orang tuaku tak seperti pejabat di pemerintahan, hal inilah yang menyebabkan mereka tak sanggup lagi membiayai sekolahku untuk ke depannya. Tiga bulan berlansung, hidup dihabiskan dengan mengalami profesi sebagai gelandangan jalanan, apapun dilakukan untuk mencari kebahagiaan dunia hingga suatu saat mantan guruku menghampiri dengan wajah iba “apa kau tak mau sekolah lagi?”. “aku ingin sekolah bu, tapi”,…”tapi apa?”,”tapi orang tuaku tak punya uang untuk membiayai sekolahku”. Ibu Lastri yang kerap dipanggil bu Las itu terdiam, terpana melihat tubuh dekil ini. Ia mengajakku untuk melanjutkan sekolah ku yang sempat terhenti selama tiga bulan, akan tetapi tidak di sekolah yang lama, ia bermaksud untuk melanjutkan sekolah ku di tempat ia mengajar sekarang.
Ibu Lastri memang dikenal sebagai guru yang ramah, tak heran jika hampir seluruh siswa senang kepadanya. Semenjak ayahnya meninggal dunia ia membebani kehidupan keluarganya seorang diri, mencoba mengajar di sekolah dengan status honorer hingga ia diangkat menjadi Pegawai Negeri dan dimutasikan di sekolah yang baru sekarang. “sudahlah sur, hentikanlah kerjaan mu sekarang ini, ibu akan usahakan kau sekolah di tempat ibu mengajar sekarang dan nanti kau masuk sekolah lewat program beasiswa anak miskin”. Aku terdiam, terkejut. “Ah…tak mungkin aku bisa sekolah lagi, tak mungkin “bicaraku dalam hati. Bu Las terus mendesakku hingga menyadarkan aku bahwa sekolah itu amatlah penting.” Baik bu, besok aku sekolah, terima kasih bu”. Pembicaraan kami terhenti oleh suara handphone buk las berdering dengan keras, sepertinya ada hal yang lebih penting yang akan dilakukan buk las dari pada Ia harus menemui anak gelandangan ini.
Senin pagi aku mulai mengikuti upacara bendera. Dengan pakaian baru yang diberi oleh bu Las aku merasa percaya diri untuk sekolah, uang jajan? Ah.. jangan dipikirkan, yang penting aku sekolah. Kelak akan menjadi kebahagian tersendiri dalam hidupku nantinya. Aku mengambil barisan dikelas dua tepat berada disamping Roni, teman sekelasku yang kebetulan ku kenal di jalan saat hendak berangkat ke sekolah. Satu persatu pembawa acara membacakan urutan isi acara. Semua siswa khidmad mengikuti proses jalanannya upacara bendera itu, tenang, sunyi, hanya suara protocol yang terdengar.
Upacara itu tak berlansung lama, sekitar sepuluh menit berlansung, Pembina upacara mulai berbicara dengan gagah dan lantang seraya membicarakan tentang kedisiplinan sekolah. Aku mulai mulai muak dengan pidato itu. Setiap kali sang Pembina sekolah berpidato di hadapan siswa selalu membicarakan tentang kedisiplinan hingga tak jarang para siswa selalu bosan dengan pidatonya. Suaranya terhenti, bapak Pembina kaget melihat seseorang siswi jatuh pingsan di hadapannya. Semula semua guru beranggapan biasa saja, “mungkin itu Cuma pingsan biasa saja, belum sarapan pagi tu” tegas Roni berbicara pelan kepadaku. Siswi tersebut dibawa keluar lapangan dengan ditandu oleh pasukan PMR sekolah. Setelah semua usai, Pembina melanjutkan kembali pidatonya dan terhenti kembali ketika ada teriakan histeris dari salah satu siswi di barisan depan. Suara teriakan itu sangat hebat, jantungku ku berdebar dengan kencang mendengarnya, “ini bukan teriakan biasa” aku mendengar salah satu siswa berkata. Semua mata tertuju pada nya. Sebagian guru mulai panic dengan keadaan,  tak heran kepanikan itupun menjalar ke sebagian siswa yang lainnya. Mulai satu persatu pelajar siswi berjatuhan ikut pingsan, suara teriakan histeris pun terdengar kembali di barisan siswa kelas satu, suasana heboh itu berlansung hebat, hingga Pembina upacara mengehentikan pidatonya dan berlari ke barisan siswa. Kepala sekolah yang terpaku menggigil melihat kejadian ini memutuskan untuk menghentikan upacara. Pembina UKS dan pasukan PMR segera memberikan pertolongan kepada siswa yang pingsan, satu persatu dievakuasi ke dalam ruang kelas yang tek begitu jauh dari lapangan upacara. Jumlah siswa yang pingsan semakin bertambah, suara teriakan histeris semakin mengoyakkan gendang telinga, aku heran dengan apa yang terjadi.
Sebelumnya peristiwa seperti ini pernah terjadi di sekolah ini, namun kejadian seperti ini terjadi sekitar delapan tahun yang lalu, dimana sebanyak dua belas siswi jatuh pingsan dalam waktu yang bersamaan pada saat upacara bendera. Masyarakat setempat menduga bahwa selama ini pihak sekolah tidak pernah menyemah lokasi sekolah semenjak sekolah itu berdiri. Oleh Karena itu, menurut masyarakat bahwa hantu yang mendiami sekolah itu marah kepada pihak sekolah dan menganggu siswa-siswi saat pembelajaran berlansung. Waktu itu pihak sekolah memanggil dukun untuk mengobati para siswa yang terganggu oleh hantu tersebut dan mengusir hantu itu dari perkarangan sekolah. Aku yang tak percaya dengan hal gaib ini hanya diam dan beranggapan bahwa apa yang terjadi sekarang ini hanya sekedar kebetulan saja. “Ah… mana mungkin ada hantu di sekolah ini, padahal sekolah ini berdiri sejak tujuh puluh lima tahun yang lalu”. Sautku berbicara sendiri di sela sela kesibukan guru mengevakuasi siswi. Akan tetapi, jumlah korban yang mengalami kerasukan hantu itu mulai bertambah banyak, tangisan para rekan  korban terdengar di sana sini, teriakan kepanikan pun berebutan masuk ke gendang telinga. Bu Las mencariku, dari wajah nya terlihat rasa cemas dan menghampiriku dan berkata.
“kau baik baik saja surya?”
“aku baik baik saja buk, sebenarnya apa yang terjadi di sini ?”
“kepala sekolah mengatakan bahwa hantu sekolah ini sedang marah, sekarang ada sekitar dua puluh tiga pelajar terkena oleh kemarahannya, kau jangan berdiam diri dan melamun, cepat kau bantu temanmu yang pingsan itu” perintah buk lastri kepada ku dan ia pergi dengan wajah pucat pasi meninggalkan ku. Tak terbayangkan bahwa sekolah yang telah ku huni ini memiliki misteri yang begitu amat rahasia. Aku tak menyangka akan terjadi seperti ini, hari pertama ku masuk ke sekolah ini diwarnai oleh kejadi yang menurutku sangat aneh.
Pak Nurdin selaku guru agama islam di sekolah ini mencoba untuk mengusir hantu sekolah dengan membaca beberapa ayat al-quran berulang kali. Komat kamit mulutnya tak terhenti terus membaca dengan sigap. Sebagian siswa-siswi yang masih sadarpun ikut bergabung bersama pak Nurdin membaca alquran. sedangkan kepala sekolah sibuk meminta pertolongan kepada masyarakat yang berada persis di depan sekolah.
Saat melihat jam dinding di depan kelas, waktu menunjukan jam Sembilan pagi. Suasan di sekolah belum terkendali, sebagian siswa yang pinsan dilarikan ke rumah sakit untuk mendapat pertolongan lanjutan.kepala sekolah mengambil tindakan untuk meliburkan dan menyuruh seluruh siswa untuk pulang ke rumah masing masing. Aku yang masih terdiam tidak mau pulang ke rumah. Apa yang akan ku kerjakan jika ku di rumah? Ah..lebih baik aku di sini saja menemani buk las yang sedang membantu siswi yang menjadi korban ini. Aku bingung, aku tak tahu apa yang harus aku lakukan di sini. Sebagai siswa baru di sekolah ini tentu sebagian besar pelajar dan guru di sini belum mengenalku. Tetapi aku tetap bertahan di sekolah meski penjaga sekolah sudah mengusirku dari sekolah. Aku ingin melihat ending dari kejadian ini, aku berusaha membantu guru mendampingi korban. Kepala sekolah yang tadinya merasa cemas terhadap peristiwa ini sudah mulai merasa lega, aku mendengar bahwa ia menghubungi pak Sutrisno. Dukun yang dianggap hebat oleh masyrakat setempat mampu dan berkeingin untuk membantu pihak sekolah dalam usaha penyembuhan siswa yang dipercaya telah dirasuki oleh makhluk halus itu.
Keadaan semakin sepi, sebagian besar pelajar sudah pulang ke rumah mereka masing masing, hanya tinggal beberpa pelajar saja yang masih berada di sekolah, termasuk aku. Suasana mencekam menunggu kedatangan pak Sutrisno ke sekolah. Tak banyak yang dapat diperbuat selain menunggu. Isak tangis sang korban mendayu dayu, sesekali berteriak kesakitan. Tak lama kemudian pak Sutrisno datang dengan membawa perlengkapan pengobatannya, di tangan kanan nya terlihat seperti memegang keris. Kedatangannya disambut lansung oleh kepala sekolah seraya menceritakan apa yang telah terjadi. Pak Sutrisno lansung menuju ke ruangan kelas dimana tempat para siswa dievakuasi, satu persatu beliau memeriksa keadaan siswi sambil menyebutkan mantra-mantra yang tidak pernah aku mengerti apa sebenarnya mantra itu. Biarlah, aku hanya bisa melihat gelagat pak sutrisno mengobati, meskipun aku tidak pernah percaya dengan dukun namun aku tidak melarang dukun yang berusia sekitar tigapuluhan itu mengobati satu persatu siswa. Ia meminta satu suing bawang putih kepadaku, aku berusaha mencari dan memberinya bawang putih itu. Namun, entah keajaiban apa yang ada pada dukun itu satu persatu siswa mulai sadar, hanya tinggal Yuni siswi kelas dua itu yang belum sadar. Pak sutrisno amat kualahan menghadapi hantu yang merasuki tubuh Yuni hingga berlansung sampai sore hari. Para siswi yang telah sadar lansung di beri minuman yang telah dimantrai dan di bawa pulang ke rumah mereka masing masing. Beberapa guru pun mulai beranjak pulang ke rumah.
Di sekolah, aku, pak dukun, kepala sekolah, buk las dan beberapa guru senan tiasa menemani Yuni hingga sadar, namun sudah jam tiga sore pun Yuni yang masih belia itu masih tergeletak lemah di atas meja kelas yang di alas dengan kasur gabus milik UKS sekolah. Tak lama beberapa menit kemudian, sang dukun yang mulanya dianggap hebat oleh masyarakat ternyata takluk oleh hantu yang merasuki tubuh Yuni. Teriakan dan pemberontakan hantu yang berada di di dalam tubuh Yuni semakin menjadi jadi. Terlihat tampak menyerah sang dukun memerintahkan kepada sekolah untuk dibawa pulang pelajar wanita itu dan pengobatan disambung di rumah Yuni. Guru yang masih berada di sekolah mulai membereskan perlengkapan kerja dan beransur-ansur meninggalkan sekolah. Aku yang masih bengong ikut menyertai pulang dan tak ingin masuk ke sekolah lagi sebab rasa takut yang selalu mengahantuiku meski Buk Lastri merayuku.


Dumai, Maret 2011
Syahrul Affandi bin Jalaluddin Rozali

cerpen "Kado ulang tahun dari Ayah"

Kado ulang tahun dari Ayah
Seumur hidup aku tidak pernah berbicara dengan ayah, bergurau bersama atau menerima kasih sayang dan timangannya. selama ini hanya ada aku dan ibu di rumah ini, ibu yang membesarkan dan mendidiku tanpa sentuhan sedikitpun dari seorang suami yang selalu didambakan. Namun kali ini ayah akan memberikanku sebuah kado di hari ini. Hari yang merupakan hari kelahiranku di atas dunia. Kata ibu, kado itu diberikan ayah sebelum aku dilahirkan di dunia. Selama ini ibu menyimpannya dan merahasiakan bahwa aku telah diberi kado oleh ayah. Ibu pernah cerita bahwa kado yang diberi ayah itu sengaja ia simpan tanpa sepengetahuanku sebab itu merupakan pesan yang di sampaikan ayah kepada ibu ketika ibu menerima kado itu. Kado itu akan diberikan ibu kepadaku tepat diusiaku yang ke dua puluh tahun. Sekarang hari itu telah tiba, kini usiaku pun telah mencapai dua puluh tahun. Hari ini adalah hari ulang tahun ku.
Sebagai anak satu satunya hasil dari perkawinan antara ayah dan ibu. Aku menjadi anak yang kurang bisa diharapkan oleh orang tua, kerap kali perbuatanku menjadi perbincangan serius oleh kaum ibu-ibu di warung kelontong. Selama ini keinginan ku selalu dipenuhi hingga aku pun selalu melakukan hal yang terasa nikmat dalam hidup bahkan terjerumus di dunia hitam pun aku lakukan untuk memenuhi hasrat birahi yang diwariskan oleh ayah. Temanku seorang dokter psikologi pernah berkata bahwa apa yang aku lakukan merupakan hasil dari ketidak perhatiannya orang tua kepada anaknya seperti aku dan ini merupakan tingkah laku anak yang tidak pernah mendapat didikan secara maksimal dari kedua orang tua. Ditambah lagi dengan lingkungan di sekitar rumah. Maklum lingkungan pasar yang selalu ku hadapi. Itu perlu aku akui sebab selain ayah yang tak pernah mendidikku secara lansung dan ibu yang mendidikku hanya sedikit dari kehidupanku dikarenakan kesibukannya di pasar.
Sejak ayah meninggal dunia, nasib keluarga ku semakin berantakan, tak ada lagi yang bisa memenuhi kehiduan seharihari dari keluarga. Ayah meninggal dunia sebelum aku dilahirkan di dunia ini. Ibu pernah cerita tentang ayah. Ia seorang lelaki yang penuh dedikasi dan tanggung jawab terhadap keluarga meski ia kerap meninggalkan ibu dalam waktu cukup lama sebab tugas pelayaran yang dilakoninya. Cukup mengharukan ketika ia menceritakanya kepadaku. Tapi sayang, aku tak pernah berjumpa lansung dan bertatap mata dengan ayah. Tapi biarlah, mungkin dengan kado pemberiannya bisa mengurangi rasa kerinduan dan aku merasa telah menerima kasih sayang dari nya.
Usai berjualan di pasar  ibu tampak murung, di raut wajahnya terlihat rasa kebingungan yang luar biasa  namun aku tak begitu memperdulikan kenapa ibu sekarang. Ibu yang tampak tak bersemi di wajahnya itu selalu menatap dan memperhatikan setiap tingkah laku ku. Ah…mungkin itu perasaanku saja. Ibu kan selalu berbuat begitu kepadaku, biasanya setiap kali ibu berwajah murung itu pertanda bahwa dagangan ibu hari ini kurang laris begitu juga sebaliknya. Setiap pagi, ibu pergi menjual dagangannya di pinggir jalan  yang berada persis di pintu gerbang menuju pasar tradisional. Ia tak sanggup untuk menyewa sebuah kios di dalam blok pasar rakyat itu, katanya terlalu mahal untuknya dan tidak sesuai pendapatan dengan pemasukan. Ibu bukanlah pedagang kain yang besar, dagangannya hanya cukup untuk memenuhi kehidupan kami selama ini.
Namun tidak kali ini, dagangan ibu habis terjual, ia pulang ke rumah agak sedikit cepat dari pada biasanya, akan tetapi mengapa ibu murung. Padahal hari ini adalah hari ulang tahunku. Seharusnya ia lebih sedikit bahagia dari hari biasanya. “bu, hari ini kan hari ulang tahunku, aku heran dengan ibu, kenapa ibu tampak sedih begitu? Ibu kenapa?”. Hanya senyuman yang terlintas di bibirnya ketika pertanyaan itu terlontarkan. Ia bergegas masuk kedalam kamar tidurnya yang hanya berukuran dua kali tiga meter itu dan segera keluar dengan membawa sebuah paket berbentuk kotak kecil yang dibungkus dengan kertas padi berwarna kuning dan meletakan ke atas meja makan yang berada tepat di samping kursi yang kududuki dan lalu duduk di kursi sebelah ku. Mataku tertuju pada bingkisan tersebut, mungkin ini kado yang dimaksud oleh ibu. Kado yang diberikan ayah untuk ku semasa aku masih dikandungan itu. Kado yang menjadi rahasiaku selama ini, kado yang membuatku penasaran apa isi di dalamnya. “itu kado dari ayahmu, hari ini engkau berhak untuk membuka kado itu, buka lah…!!” perintah ibu kepada ku. Hatiku gembira tidak tertahan menerima kado pemberian ayah tersebut. Namun mengapa ibu diam. Tak tampak sedikitpun keceriaan di wajah mungilnya. akupun terdiam dan membisu dengan senyap tanganku menggapai kado dambaan hati dan jemariku mulai menyobek satu persatu kertas bungkusan kotak kecil yang diperkirakan hanya sebesar kotak sepatu. Kotak itu masih utuh dan belum pernah dibuka sebelumnya. Sedikit demi sedikit sampul kotak itu mulai habis. Rasa berdebar dan gembira menyemat di pikiran. Maklum, baru kali ini aku mendapat kado special di hari ulang tahunku. Kegembiraanku semakin memuncak saat aku mulai membuka tutup kotak yang terbuat dari kardus bekas itu. Tak ada yang berharga di dalam bingkisan kado, hanya ada sebuah photo seorang lelaki yang berdampingan dengan seorang perempuan yang cantik jelita dan terlihat lebih muda dari pada pria separuh baya itu. Tersentak mata ini terpana kea rah photo dan memandang wajah wanita berkulit putih yang memberikan senyuman dingin kepadaku sambil memeluk tubuh ayahku tersebut. Di bawah photo itu ada pula sepucuk surat kecil seperti pesan pendek dari ayah.
Ibu beranjak dari kursi mengambil segelas air mineral dan kembali duduk di kursinya kemudian ia mulai menceritakan apa yang terjadi sebenarnya secara bertahap kepadaku . Aku mendengar perkataan ibu sambil memengambil photo dan surat itu keluar dari kotak dan berhenti sejenak terkejut mendengar ibu berkata “aku adalah ibu tirimu” gumam ibu dengan nada kecil sambil meneguk segelas air mineral, “apa maksud ibu”, “ ya….aku adalah ibu tirimu yang dinikahi ayahmu ketika kapalnya bersandar di kotaku”. Aku melepaskan photo dan surat itu dari genggaman, menatap ibu dan terdiam, sementara ibu masih menggenggam gelas kaca dan melanjutkan kembali ceritanya.  “ayahmu  meninggal dunia karena serangan jantung yang di deritanya. Ibumu datang ke kotaku setelah setahun ayahmu meninggal dunia, kemudian ia menitipkan sebungkus kado kepadaku. Ia juga memberikan seorang anak kepadaku untuk diasuh dan tak lupa ia menyampaikan pesan ayahmu tentang kado itu. Anak itu adalah kamu. Sampai saat ini ibumu tak pernah kembali lagi” cerita ibu kepadaku sambil sedu sedan menahan tangisan. Semula aku tak percaya dengan cerita itu, namun ibu membuktikan semua ceritanya dengan menunjukan photo ayahku yang lainnya sehingga aku mulai percaya dengan apa yang diceritakannya.  serasa nadi berhenti dan badan menggigil mendengar pernyataan wanita separuh baya yang duduk di sebelahku. Tak terbayangkan nasibku hingga seperti ini. Di hari ulang tahunku yang ke dua puluh tahun ini aku diberi hadiah yang tak bisa ku lupakan sampai akhir hayatku.
Ia diam  menghampiri dan memelukku dengan erat seraya mengeluarkan tangisan kecil sedu sedan. Kegembiraanku telah takluk oleh tangisan ibu. Heran dan bingung dengan kondisi yang terjadi namun aku tetap kembali mengambil dan membaca surat kecil dari ayah itu. Anakku..!! ini photo satu satunya yang kupunya dan ku berikan photo ini untuk mu, ini photo aku dan ibu mu ketika kami baru seminggu menikah. Itu tulisan yang ku baca dari surat kecil yang ada di dalam kotak kado kecil. Pikiran ku berhenti sejenak ketika usai membacanya. Aku heran dan bertambah bingung ketika melihat wajah ibuku tidak serupa dengan wajah yang ada di dalam photo itu. Semakin bingung semakin itu pula ibu menangis terharu dan memelukku. Namun keherananku terhadap tidak serupanya wajah ibuku dengan photo itu telah reda setelah ibu menceritakan yang sebenarnya. Namun aku mulai mengeluarkan air mata berlahan lahan, air mata it uterus mengalir tanpa henti membelah pipiku.
Aku memperhatikan wajah wanita yang ada di photo itu secara cermat. Makin ku lihat wajah itu makin ku tangis diriku. Tangisanku semakin pecah setelah melihat dengan sempurna wanita yang ada di dalam photo itu. “Ya..aku mengenali perempuan ini dan aku tau di mana ia sekarang” aku menyata sambil menunjukkan lembar photo itu kepada ibu. “kamu kenal dia”, “kenal bu, bahkan sangat kenal”, tampak raut heran di wajah ibuku, mungkin sedikit terkejut dengan pernyataanku tadi. “wanita ini……wanita ini adalah pelacur yang pernah ku tiduri bu” akuku kepada ibu. Tak terbendung air mata ibu mengalir di pipinya sambil memelukku dengan erat. Hm…..Tangisanku semakin menjadi jadi bukan karena aku ditinggal pergi oleh pasangan yang berdampingan senyum di dalam photo itu, akan tetapi karena aku telah meniduri wanita yang dipelukan ayahku itu. Wanita yang ku kenal sebagai pelacur. Wanita itu yang kukenal di sebuah diskotik tempat ku biasa melampiaskan hawa nafsu. Wanita itu adalah wanita yang ku bayar seharga tiga ratus lima puluh ribu rupiah untuk setiap kali ia menemaniku dalam waktu semalam dan wanitu itu juga yang selalu melakukan hubungan intim  bersamaku dan mengaku bernama Marisa.

dumai, 2011
oleh : Syahrul Affandi bin Jalaluddin Rozali